Menurut Depkes RI (2004) bila
dibandingkan negara-negara ASEAN, AKI Indonesia menempati posisi paling tinggi.
Penyebab AKI tinggi ada dua faktor penyebab, yaitu medis dan akses ke pelayanan
kesehatan. Untuk mendukung MPS yang dicanangkan WHO, pemerintah melaksanakan
strategi utama adalah memberi pertolongan persalinan yang diberikan tenaga
kesehatan, kedua mengupayakan komplikasi dan perdarahan ibu saat mengandung dan
melahirkan dapat ditangani, ketiga mengupayakan pencegahan kehamilan yang tidak
diinginkan. Mengenai target menurunkan AKI menjadi 125/100.000, agaknya sulit
mencapai target tersebut.
Angka Kematian Ibu (AKI) maternal
bersama dan Angka Kematian Bayi (AKB) senantiasa menjadi indikator keberhasilan
pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu yang
terkait dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia AKI tahun 2002 mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup
Angka ini turun tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI tahun 2007 sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2008).
Penyebab kematian ibu di Indonesia
menurut Manuaba (1998) adalah perdarahan, infeksi, dan gestosis dimana
perdarahan menjadi penyebab terbesar hingga mencapai 30-35%.
Perdarahan
merupakan penyebab kematian nomor satu (40% s/d 60%) kematian ibu melahirkan di
Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%-17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun
(1997-1999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat
retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%)
berakhir dengan kematian ibu. Menurunkan kejadian perdarahan pasca persalinan
akibat retensio plasenta tidak hanya mengurangi risiko kematian ibu, namun juga
menghindarkannya dari risiko kesakitan yang berhubungan dengan perdarahan pasca
persalinan, seperti reaksi tranfusi, tindakan operatif, dan infeksi. Bukti
berbagai penelitian mendukung penatalaksanaan aktif kala III persalinan
(setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta) dapat menurunkan
risiko perdarahan pasca persalinan sampai 40% (Pribakti, 2001).
Perdarahan merupakan salah satu
akibat dari terjadinya anemia saat kehamilan. Anemia berdampak
memberatkan tumbuh kembang janin dalam rahim diantaranya abortus, prematuritas,
BBLR, lahir dengan anemia, mudah infeksi, pertumbuhan setelah lahir mengalami
hambatan. Untuk ibunya dapat terjadi persalinan lama, distosia yang
memerlukan tindakan operatif, perdarahan post partum dan akhirnya mudah
mendapatkan infeksi post partum (Manuaba, 2002).
Menurut (Mochtar, 1998) perdarahan
post partum mengakibatkan perdarahan lebih 500-600 ml selama 24 jam setelah
anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post
partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam
setelah anak dan plasenta lahir. Selain itu, frekuensi perdarahan
post partum 4/5-15 % dari seluruh persalinan, secara umum perdarahan post
partum disebabkan oleh atonia uteri (50-60%), retensio plasenta
(16-17%), sisa plasenta (23-24%), trauma jalan lahir (laserasi) (4-5%), dan
kelainan darah (0,5-0,8%).
A.
Konsep
Dasar
1.
Definisi
Hemoragia postpartum
(perdarahan postpartum) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam
pertama setelah lahirnya bayi (William, 1981).
Perdarahan postpartum
adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah melahirkan.
(Doengoes, 2001).
Dengan pengukuran
kuantitatif, ternyata batasan tersebut tidak terlalu tepat kerena terbukti
bahwa darah yang keluar pada saat persalinan pervaginam umumnya lebih dari 500
ml, dan ini merupakan salah satu penyebab mortalitas pada ibu.
Klasifikasi perdarahan
postpartum dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
a.
Perdarahan postpartum
awal (sampai 24 jam setelah kelahiran).
b.
Perdarahan postpartum
lambat (samapi 28 jam setelah kelahiran).
2.
Etiologi
Berbagai penyebab
penting, baik yang berdiri sendiri maupun bersama-sama yang dapat menimbulkan
perdarahan postpartum adalah sebagai berikut :
a.
Trauma jalan lahir
1)
Episiotomi yang lebar.
2)
Laserasi perineum,
vagina dan serviks.
3)
Ruptur uterus.
b.
Kegiatan kompresi
pembuluh darah tempat implantasi plasenta.
1)
Miometrium hipotonia.
a)
Anestesi umum (trauma
dengan senyawa halogen dan eter).
b)
Perfusi miometriun yang
kurang (hipotensi akibat perdarahan atau anetesi konduksi).
c)
Uterus yang terlalu
menegang (janin yang besar, kehamilan multiple, hidroamnion).
d)
Setelah persalinan yang
lama.
e)
Setelah persalinan yang
terlalu cepat.
f)
Setelah persalinan yang
dirangsang dengan oksitoksin dalam jumlah yang besar.
g)
Paritas tinggi.
h)
Perdarahan akibat
atonia uteri pada persalinan sebelumnya.
i)
Infeksi uterus.
2)
Retensi sisa plasenta
a)
Perlekatan yang
abnormal (plasenta akreta dan prekreta).
b)
Tidak ada kelainan
perlekatan (plasenta senturia).
3)
Gangguan koagulasi
Gangguan koagulasi yang
didapat maupun kongenital akan memperberat perdarahan akibat semua sebab
diatas.
Dari
semua penyebab diatas, dua penyebab perdarahan postpartum dini yang paling
sering adalah sebagai berikut :
a.
Miometrium yang
hipotonia (atonia uteri).
b.
Perlukaan vagina serta
serviks.
Faktor
predisposisi perdarahan postpartum adalah sebagai berikut :
a.
Kelahiran besar.
b.
Kelainan forsep tengah.
c.
Rotasi forsep.
d.
Kelahiran sebelum
pembukaan serviks lengkap.
e.
Insisi serviks.
f.
Kelahiran per vaginam.
g.
Post seksio caesarea.
h.
Insisi uterus lain.
1.
Tanda
Klinis
Pengaruh perdarahan
sangat tergantung pada hal-hal berikut :
a.
Volume yang ada sebelum
kehamilan.
b.
Besarnya hipervolemia
akibat kehamilan.
c.
Tingkat anemia waktu
kelahiran.
Tanda-tanda
yang mengkhawatirkan pada perdarahan postpartum adalah tidsak adanya perubahan
nadi dan tekanan darah yang berarti sebelum terjadi perdarahan yang banyak.
Tanda
klinis perdarahan postpartum antara lain :
a.
Hipovolemia yang berat,
Hipoksia, takipnea, dispnea, asidosis,
dan sianosis.
b.
Kehilangan darah dalam
jumlah besar.
c.
Distensi kavum uterus.
2.
Pemeriksaan
Diagnostik
Bila adanya kemungkinan
akumulasi darah uterus/dalam vagina yang tidak di ketahui, maka pemeriksaan
diagnosis perdarahan postpartum biasanya dapat di jelaskan dengan inspekulum
pada vagina, serviks, dan uterus.
a.
Golongan darah
menentukan Rh, ABO, dan pencocokan silang.
b.
Jumlah darah lengkap
menunjukan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah putih (perpindahan
kekiri dan peningkatan laju sedimentasi menunjukan infeksi).
c.
Kultur uterus dan
vagina mengesampingkan infeksi postpartum.
d.
Urinalitas : memastikan
kerusakan kandung kemih.
e.
Profil koagulasi :
peningkatan degenerasi kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP),
penurunan kadar fibrinogen masa tromboplastin parsial diaktivasi : masa
tromboplastin partial (APTT/PTT) masa protrombin memanjang pada KID.
f.
Sonografi : menentukan
adanya jaringan plasenta yang tertahan.
3.
Penatalaksanaan
Perdarahan Postpartum
Dengan adanya
perdarahan yang keluar pada kala III, bila tidak berkontraksi dengan kuat,
uterus harus di urut.
a.
Dorongan pada plasenta
diupayakan dengan tekanan manual pada fundus uterus. Bila perdarahan berlanjut,
pengeluaran plasenta secara manual harus dilakukan.
b.
Pemberian 20 menit
oksitosin dalam 1000 ml larutan RL atau normal saline terbukti efektif bila di berikan
perifus intravena kurang lebih 10 ml/menit bersamadengan mengurut uterus secara
efektif.
c.
Bila cara di atas tidak
efektif, ergovine 0,2 mg yang di berikan secara IV dapat merangsang uterus
untuk nberkontraksi dan bereteraksi dengan baik, untuk mengatasi perdarahan
dari tempat implantasi plasenta.
Bila
penatalaksanaan perdarahan yang telah disebutkan tadi masih belum berhasil,
maka segera lakukan tindakan berikut :
a.
Lakukan kompresi uterus
bimanual (tindakan ini akan mengatasi sebagian sebagian perdarahan.
b.
Tranfusi darah.
Golongan darah setiap ibu harus sudah diketahui sebelum persalinan.
c.
Lakukan eksplorasi
kavum uterus secara manual untuk mencari sisa plasenta yang tertinggal.
d.
Lakukanlah pemeriksaan
inspekulum pada serviks dan vagina.
e.
Pasang tambahn infus IV
kedua dengan menggunakn kateter IV yang besar, sehingga aksitosin dapat
diteruskan sambil membersihkan darah.
f.
Kecukupan output
jantung pengisian arterial dapat di pantau melalui produksi kemih.
A.
Asuhan
Keperawatan
1.
Pengkajian
Pada
kasus perdarahan postpartum seharusnya dilakukan pemeriksaan fisik secara keseluruhan
dan lebih difokuskan pada :
a.
Aktivitas atau
istirahat dengan melaporkan kelelahan berlebihan.
b.
Sirkulasi, kehilangan
darah pada kelahiran umumnya 400-500 ml (kelahiran seksio caesarea) meskipun
kehilangan darah sering diabaikan. Riwayat anemia kronis, defek koagulasi
kongenital atau insidental serta idiopatik trombositopenia purpura.
c.
Integritas ego, cemas,
ketakutan dan khawatir.
Perdarahan
postpartum awal (sampai 24 jam setelah kelahiran)
a.
Sirkulasi
1)
Perubahan TD dan nadi
(mungkin tidak terjadi sampai kehilangan darah bermakna.
2)
Perlambatan pengisian
kapiler.
3)
Pucat, kulit
dingin/lembap.
4)
Perdarahan vena gelap
dari uterus ada secara eksternal plasenta tertahan).
5)
Dapat mengalami
perdarahan per vaginam berlebihan, rembesan dari insisi caesarea atau
episiotomi seperti rembesan kateter intravena, injeksi intramuskular atau
kateter urinarius, perdarahan gusi (tanda-tanda koagulasi intravaskular
desiminata).
6)
Hemoragi berat atau
gejala syok diluar proporsi jumlah kehilangan darah (inversi uterus).
b.
Eliminasi
Kesulitan
berkemih dapat menunjukan hematoma dari porsi vagina.
c.
Nyeri/ketidaknyamanan
Sensasi
nyeri terbaka/robekan (laserasi), nyeri
vulva/ vagina/ pelvis/ punggung berat (hematoma), nyeri uterus lateral
(hematoma kedalam ligamen luas), nyeri tekan abdominal (atonia uteri, fragmen
plasenta tertahan), nyeri abdominal (inversi uterus).
d.
Keamanan
1)
Laserasi jalan lahir :
darah merah terang sedikit menetap (mungkin tersembunyi) dengan uterus keras,
uterus berkontraksi dengan baik, robekan terlihat pada labia minora/mayora dari
muara vagina ke perineum, robekan episiotomi luas, ekstensi episiotomi kedalam
kubah vagina atau robekan pada serviks.
2)
Hematoma : unilateral,
penonjolan masa tegang berfluktuasi pada muara vagina atau meliputi labia
mayora, keras, nyeri pada sentuhan perubahan warna kemerahan atau kebiruan
unilateral kulit perineum atau bokong (hematoma abdominal setelah kelahiran
caesarea mungkin asimptomatik, kecuali pada perubahan tanda vital).
e.
Seksualitas
1)
Pembesaran uterus lunak
dan menonjol, sulit dipalpasi, perdarahan merah terang dari vagina (lambat atau
tersembunyi), bekuan-bekuan besar dikeluarkan dari masase uterus (atonia
uterus).
2)
Uterus kuat, kontraksi
baik atau parstial dan agak menonjol (fragmen-fragmen plasenta yang tertahan).
3)
Fundus uteri terinversi
mendekat pada kontak atau menonjol melalui os. eksternal (inversi uterus).
4)
Kehamilan baru dapat
memengaruhi hiperdeistensi uterus (gestasi multipel polihidroamnion,
makrosomia) abrupsi plasenta, plasenta previa.
Perdarahan
postpartum lambat (28 jam setelah kehamilan)
a.
Sirkulasi
1)
Rembesan kontinu atau
rembesan tiba-tiba.
2)
Kelihatan pucat,
anemis.
b.
Nyeri/ketidaknyamanan
1)
Nyeri tekan uterus
(fragmen-fragmen plasenta tertahan).
2)
Ketidaknyamanan
vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma).
c.
Keamanan
1)
Lochea berbau busuk
(infeksi).
2)
Ketuban pecah dini
(KPD).
d.
Seksualitas
1)
Tinggi fundus badan
uterus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum kehamilan (subinvolusi).
2)
Leukore mungkin ada.
3)
Terlepasnya jaringan.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a.
Kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan vaskular yang berlebihan.
b.
Perubahan perfusi
jaringan berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
c.
Resiko penurunan curah
jantung berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
d.
Gangguan pola nafas
berhubungan dengan intake O2 yang rendah.
e.
Nyeri berhubungan
dengan episiotomi dan laserasi.
f.
Resiko tinggi
terjadinya infeksi berhubungan adanya trauma jalan lahir.
g.
Gangguan pola eliminasi
urine berhubungan dengan pengeluaran renin.
3.
Intervensi
Keperawatan
a.
Diagnosa 1 : kekurangan
volume cairan berhubungan kehilangan vaskular yang berlebihan ditandai dengan
asidosis, sianosis, takipnea, dispnea dan syok hipovolemik.
Tujuan
: volume cairan adekuat.
Kriteria
Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler cepat (kurang
dari 3 detik), sensorium tepat, input dan output cairan seimbang serta berat
jenis urine dalam batas normal.
Rencana Intervensi
|
Rasional
|
||
Mandiri :
|
|||
1.
|
Kaji
dan catat jumlah, tipe dan sisi perdarahan. Timbang dan hitung pembalut.
Simpan bekuan dan jaringan untuk dievaluasi oleh dokter.
|
1.
|
Perkirakan
kehilangan darah, arterial versus vena dan adanya bekuan-bekuan membantu
membuat diagnosis banding serta menentukan kebutuhan penggantian (satu gram
peningkatan berat pembalut sama dengan kurang lebih 1 ml kehilangan darah).
|
2.
|
Kaji
lokasi uterus dan derajat kontraktilitas uterus. Dengan masase, penonjolan
uterus dengan satu tangan sambil menempatkan tangan kedua tepat diatas
simfisis pubis.
|
2.
|
Derajat
kontraktilitas uterus membantu dalam diagnosis banding. Peningkatan
kontraktilitas miometrium dapat menurunkan kehilangan darah. Penempatan satu
tangan diatas simfisis pubis mencegah kemungkinan inversi uterus selama
masase.
|
3.
|
Perhatikan
hipotensi dan takikardi, perlambatan pengisisan kapiler atau sianosis dasar
kuku, serta membran mukosa dan bibir.
|
3.
|
Tanda-tanda
menunjukan hipovolemik dan terjadinya syok. Perubahan tekanan darah tidak
dapat dideteksi sampai volume cairan telah menurun hingga 30-50%. Sianosis
adalah tanda akhir dari hipoksia.
|
4.
|
Pantau
masukan dan keluaran : perhatikan berat jenis urine.
|
4.
|
Bermanfaat
dalam memperkirakan luas / signifikansi kehilangan cairan. Volume perfusi /
sirkulasi adekuat ditunjukan dengan haluaran 30-50 ml / jam atau lebih besar.
|
5.
|
Berikan
lingkungan yang tenag dan dukungan psikologis.
|
5.
|
Meningkatkan
relaksasi, menurunkan ansietas dan kebutuhan metabolik.
|
b.
Diagnosa 2 : perubahan
perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia, ditandai dengan pengisian
kapiler lambat, pucat, kulit dingin atau lembap, penurunan produksi ASI.
Tujuan : perfusi
jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : TD,
nadi darah arteri, Hb/Ht dalam batas normal. Pengisian kapiler cepat, fungsi
hormonal normal menunjukkan dengan suplai ASI adekuat untuk laktasi dan
mengalami kembali menstruasi normal.
Rencana Intervensi
|
Rasional
|
||
Mandiri :
|
|||
1.
|
Perhatikan
Hb/Ht sebelum dan sesudah kehilangan darah. Kaji status nutrisi, tinggi dan
berat badan.
|
1.
|
Nilai
bandingan membantu membantu menetukan beratnya kehilangan darah. Status sebelumnya
dari kesehatan yang buruk meningkatkan luasnya cedera karena kekurangan O2.
|
2.
|
Pantau
tanda vital, catat derajat dan durasi episode hipovolemik.
|
2.
|
Luasnya
keterlibatan hipofisis dapat dihubungkan dengan derajat dan durasi hipotensi.
Peningkatan frekusensi pernafasan dapat menunjukan upaya untuk mengatasi
asidosis metabolik.
|
3.
|
Perhatikan
tingkat kesadaran dan adanya perubahan prilaku.
|
3.
|
Perubahan
sensorium adalah indikator dini hipoksia, sianosis tanda lanjut, mungkin
tidak tampak sampai kadar PO2 turun dibawah 50 mmHg.
|
4.
|
Kaji
warna dasar kuku, mukosa mulut, gusi dan lidah serta perhatikan suhu kulit.
|
4.
|
Pada
kompensasi vasokontriksi dan pirau organ vital, sirkulasi pada pembuluh darah
perifer diturunkan yang mengakibatkan sianosis dan suhu kulit dingin.
|
5.
|
Kaji
payudara setiap hari, perhatikan ada atau tidaknya laktasi dan perubahan
ukuran payudara.
|
5.
|
Kerusakan
hipofisis anterior menurunkan kadar prolaktin, mengakibatkan tidak adanya
produksi ASI, dan akhirnya menurunkan jaringan kelenjar payudara.
|
Kolaborasi :
|
|||
6.
|
Pantau
kadar pH
|
6.
|
Membantu
dalam mendiagnosis derajat hipoksia jaringan atau asidosis yang diakibatkan
oleh terbentuknya asam laktat dari metabolisme anaerobik.
|
7.
|
Berikan
terapi oksigen sesuai kebutuhan.
|
7.
|
Memaksimalkan
ketersediaan oksigen untuk transpor sirkulasi kejaringan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Mitayani.
2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta
: Salemba Medika.
Prawirohardjo
Sarwono, EdiWiknjosastro H. 1997. Ilmu
Kandungan. Jakarta : Gramedia.
RSUD
Dr. Soetomo. 2001. Perawatan Kegawat daruratan Pada Ibu Hamil. Surabaya : FK. UNAIR.
Subowo.
1993. Imunologi Klinik. Bandung :
Angkasa.
Tabrani
Rab. 1998. Agenda Gawat Darurat. Bandung : Alumni.