Kamis, 15 Desember 2011

it's aLL about Acute Renal Failure (ARF) / Gagal Ginjal

Gagal ginjal atau Acute renal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia atau peningkatan konsentrasi BUN ( Blood Urea Nitrogen). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. 

Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal ginjal lebih sering dialamai mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia. 

Angka kematian di AS akibat gagal ginjal akut berkisar antara 20-90%. Kematian di dalam RS 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%. Kenaikan 0,3 mg/dL kreatinin serum merupakan prognostik penting yang signifikan. 

Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin dan trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan tingkat BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak.

A. Definisi 

Gagal ginjal akut atau ( Acute Renal Failure ) adalah sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak. 

Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate ( GFR ) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia. ( Davidson 1984 ). 

Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba, sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta asidosis metabolic dan hiperkalemia. ( D. Thomson 1992 : 91 ). 

Sedangkan Gagal ginjal kronis atau ( Chronic Renal Failure ) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia ( urea dan limbah nitrogen yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau transplantasi ginjal. 

Penyakit gagal ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit ( Smeltzer C, Suzanne, 2002 hal 1448 ). 

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir ( ESRD ) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir ( PGTA ). Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah ( BUN ) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Gagal ginjal kronis ini merupakan penyakit ginjal tahap akhir. 

B. Etiologi
Gagal ginjal akut antara lain : 
1. Penyebab pre renal atau terjadi hipoperfusi ginjal 
a. Dimana aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomerulus. 
b. Penurunan volume vaskuler 
c. Kehilangan darah/plasma : perdarahan luka baker 
d. Kehilangan cairan ekstraselluer : muntah,diare 
e. Kenaikan kapasitas kapiler : Sepsis, Blokade ganglion, Reaksi anafilaksis 
f. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung : Renjatan kardiogenik,Payah jantung kongestif, Dysritmia, Emboli paru, Infark jantung. 

2. Penyebab internal kerusakan actual jaringan ginjal akibat trauma jaringan gromerulus atau tubulus ginjal. 
a. Akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus distal. 
b. Kondisi seperti terbakar,udema akibat benturan dan infeksi dan agen nefrotik dapat menyebabkan nekrosi tubulus akut (ATN) 
c. Berhentinya fungsi renal. 
d. Reaksi transfusi yang parah juga gagal intra renal.hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi ditubulus distal menjadi faktor terbentuknya hemoglobin. 
e. Faktor penyebab adalah : pemakaian obat-obat anti inflamasi, non steroid terutama pada pasien lansia. 

3. Penyebab postrenal terjadi akibat sumbatan atau gangguan aliran urine melalui saluran kemih. 
a. Obstruksi dibagian distal ginjal. 
b. Tekanan ditubulus distal menurun, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat. 

Gagal ginjal kronis antara lain : 
1. Infeksi saluran kemih ( pielonefritis kronis ). 
2. Penyakit peradangan ( glomerulonefritis ). 
3. Penyakit vaskuler hipertensif ( nefrosklerosis, stenosis arteri renalis ). 
4. Gangguan jaringan penyambung ( SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik ). 
5. Penyakit kongenital dan herediter ( penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal ). 
6. Penyakit metabolik ( DM, gout, hiperparatiroidisme ). 
7. Nefropati toksik 
8. Nefropati obstruktif ( batu saluran kemih ). 

C. Manifestasi Klinis 
1. Gastrointestinal : Ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan. 
2. Kardiovaskular : hipertensi, p[erubahan elektrokardiografi atau EKG, perikarditis, efusi pericardium, dan tamponade pericardium. 
3. Respirasi : Edema paru, efusi pleura, pleuritis 
4. Neuromuscular : Lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan muscular, neuropati perifer, bingung, dan koma. 
5. Metabolic / Endokrin : Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormone seks menyebabkan penurunan libido, impoten, dan amnehorhoe ( wanita ). 
6. Cairan dan elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan kehilangan sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagsemia, dan hipokalsemia. 
7. Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis, dan uremia frost. 
8. Abnormal skeletal : osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalasia. 
9. Hematologi : anemia, defek kualitas flatelat dan perdarahan meningkat. 
10. Fungsi psikososial : perubahan kepribadian dan perilaku serta gangguan proses kognitif. 

D. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis menurut (Smeltzer & Bare, 2001) antara lain : 
1. Hiperkalemia 
2. Perikarditis 
3. Hipertensi 
4. Anemia 
5. Penyakit tulang 
6. Efusi pericardial 
7. Tamponade jantung 

E. Pemeriksaan Penunjang 
1. Laboratorium darah : 
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin) 

2. Pemeriksaan Urin 
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT. 

3. Pemeriksaan EKG 
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). 

4. Pemeriksaan USG 
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat. 

5. Pemeriksaan Radiologi 
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. 

F. Penatalaksanaan 
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi : 
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat. 
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia. 
3. Transplantasi ginjal 
4. Dialisis 
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka. 
5. Penanganan hiperkalemia 
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema. 
6. Mempertahankan keseimbangan cairan 
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan. 

ASUHAN KEPERAWATAN 

A. Pengkajian keperawatan 
1. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan sebelumnya. 
Berapa lama klien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat terapi apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya. 

2. Aktifitas / istirahat. 
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia / gelisah atau somnolen), kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak 

3. Sirkulasi 
Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina)
Hipertensi, DUJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak tangan. Nadi lemah, hipotensi ortostatikmenunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir. Pucat, kulit coklat kehijauan, kuning. Kecenderungan perdarahan. 

4. Integritas Ego. 
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian. 

5. Eliminasi 
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut) Abdomen kembung, diare, atau konstipasi, perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria. 

6. Makanan / cairan 
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi). Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia). Penggunaan diuretic, distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan turgor kulit/kelembaban. Ulserasi gusi, pendarahan gusi/lidah. 

7. Neurosensori 
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremiras bawah, gangguan status mental, contah penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor. Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis. 

8. Nyeri / kenyamanan 
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki, perilaku berhati-hati / distraksi, gelisah. 

9. Pernapasan 
Napas pendek, dispnea, batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak. Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman. Batuk dengan sputum encer (edema paru). 

10. Keamanan 
Kulit gatal, ada / berulangnya infeksi, pruritis, demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara aktual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal. Ptekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi. 

11. Seksualitas 
Penurunan libido, amenorea, infertilitas 

12. Interaksi social 
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga. 

13. Penyuluhan / Pembelajaran 
Riwayat DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis heredeter, kalkulus urenaria, maliganansi. Riwayat terpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan. Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang. 

B. Diagnosa keperawatan 
Pada gagal ginjal akut 
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan nilai filtrasi glomerulus dan retensi sodium ditandai dengan : 
DS : Penambahan berat badan dalam waktu yang singkat dan asupan lebih banyak dari pada pengeluaran. 
DO : Perubahan TD ; perubahan tekanan arteri ; peningkatan tekanan vena pusat, edema anasarka, distensi vena jugularis; perubahan pola napas ; dispnue, bunyi napas abnormal ( relese ) ; kongesti pulmonal ; penurunan HB; penurunan HT ; peningkatan elekrolit; perubahan gravitasi yang spesifik; bunyi jantung S3 ; reflex hepatojugular (+); dan perubahana status mental. 

2. Resiko infeksi b.d gangguan system imun dan pertahanan tubuh ditandai dengan : 
DS : Melaporkan demam. 
DO : Demam, kenaikan suhu tubuh, data lab abnormal dan tanda vital abnormal. 

3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolic,anoreksia, mal nutrisi yang berhubungan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan : 
DS : Melaporkan mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan 
DO: BB 20% kurang dari BB ideal, kongjungtiva dan membrane pucat serta tidak mampu mencerna makanan. 

4. Resiko trauma b.d pendarahan gastrointestinal yang ditandai dengan : 
DS : Melaporkan muntah, atau BAB berdarah dan kotoran ( feses ) berwarna hitam. 
DO : Melena ( +) , hematemesisi (+), abnormal HB dan lemah.

5. Gangguan ingatan b.d efek toksin pada SSP, yang ditandai dengan : 
DS : Melaporkan lupa 
DO : Tidak mampu mengingat informasi, tidak mamppu meningat peristiwa baru, tidak mampu belajar atau menguasai keterampilan, tidak mampu melakukan kegiatan sesuai jadwal, tidak mampu mengenal intervensi yang akan dilaksanakan, tidak mampu melakukan keterampilan baru dan lupa. 

Pada gagal ginjal kronis 
1. Kelebihan volume cairan b.d peningkatan proses penyakit ditandai dengan : 
DS : BB bertambah 
DO : Penambahan BB, asupan cairan lebih banyak dari pada pengeluaran, perubahan tekanan darah, pucat, edema, distensi vena jugularis, dispnue, penurunan HB dan HT peningkatan elektolit, bunyi jantung S3, reflek hepatojugular (+),oliguri, perubahan status mental. 

2. Ketidakseimbangn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual muntah, diet yang ketat yang ditandai dengan : 
DS : hilangnya napsu makan 
DO : sulit makan, mual, muntah, dan terapi diet 

3. Kerusakan integritas kulit b.d uremia dan perubahan lemak dan kelenjar keringat yang ditandai dengan : 
DS : kulit gatal-gatal 
DO : iritasi pada kulit, kulit kering, kehitaman, pucat dan edema, uremia (+) 

4. Konstipasi b.d pembatasan cairan dan ingesti agen pengikat fosfat ( fosfat- binding agent). 

5. Resiko trauma ketika dilakukan ambulasi b.d potensial fraktur dan keram otot sekunder terhadap penurunan kalsium ditandai dengan : 
DS : keram pada kaki 
DO : menahan kaki yang keram, dan hati-hati saat bergerak. 

6. Penatalaksanaan terapi yang tidak adekuat b.d tekanan terapi gagal ginjal kronis yang ditandai dengan : 
DS : kondisi lelah dan bosan melakukan pengobatan terus menerus 
DO : terapi dialysis sesuai jadwal, minum obat sesuai yang diresepkan. 

C. Intervensi keperawatan 
Pada gagal ginjal akut 
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan nilai filtrasi glomerulus dan retensi sodium 
Tujuan : Terpenuhi kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit 
Intervensi : 
a. Monitor tanda dan gejala hipovolemia aatu hipervolemia kareana kemampuan regulasi ginjal tidak adekuat 
b. Monitor pengeluaran dan BJ urine, ukur dan catat asupan serta pengeluran urine, penghisapan caioran lambung, feses, drainase luka, dan penguapan ( melalui keringat, kulit, dan pernapasan). 
c. Monitor serum dan kosentrasi elektrolit urine. 
d. Ukur BB pasien setiap hari untuk membentuk indeks keseimbangan cairan, perkirakan kehilangan BB 2,5-0,5 kg setiap hari. 
e. Nilai asupan cairan untuk menghindari kelebihan volume cairan dan dehidrasi ( pembatasan cairan tidak selalu merupakan indikasi sampai funsi renal sangat menurun, berikan cairan hanya cukup untuk mengganti kehilangan selama fase oligurianuria / biasanya 400 - 500 ml / 24jam, kebutuhan cairan seharusnya didistribusi setiap hari, hindari pembatasan cairan dalam waktu yang lama ). 
f. Ukur tekanan darah dalam waktu yang berbeda setiap hari. 
g. Auskultasi permukana paru untuk mengetahui bunyi relase. 
h. Inspeksi vena leher ( pembesaran ). 
i. Inspeksi edema ekstremitas,abdomen, dan bola mata. 
j. Evaluasi tanda dan gejala hiperkapnia dan monitor nilai protasium ( jika nilai 5,5 mg /L, segera lapor dokter lalu amati perubahan ECG). 
k. Berikan sodium bikarbonat atau glukosa dan insulin untuk menggan protasiun kedalam sel. 
l. Berikan kation pengganti resime ( sodium,polystiren sulfonate{kayekselate}) untuk kopreksi kelebihan potassium dalam waktu lama. 
m. Amati kardiak aritmia dan gagal jantung kongestif akibat hiperkalemia, ketidakseimbangan elektrolit atau kelebihan cairan. Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi kardiak ares. 
n. Anjurkan kepada pasien mengenai pentingnya mengikuti pengobatan,diet dan hindari konsumsi tinggi potassium. 
o. Lakukan transfuse darah selama dialysis untuk membuang potassium. 
p. Monitor normalitas keseimbangan asam basa dan monitor gas darah arteri (AGD ). 
q. Siapkan terapi ventilator jika terjadi asidosis atau masalah pernapasan. 
r. Berikan sodium bikarbonat untuk mengatasi gejala asidosis ( defisit bikarbonat ). 

2. Resiko infeksi b.d gangguan system imun dan pertahanan tubuh 
Tujuan : Pencegahan infeksi 
Intervensi : 
a. Monitor semua tanda infeksi. Perlu dicatat bahwa pasien gagal ginjal tidak selalu menunjukan demam dan leukositosis. 
b. Angkat kateter urine sesegera mungkin, monitor infeksi saluran kemih. 
c. Gunakan perawatan higiene pulmonary secara intensif terhadap edema paru dan infeksi 
d. Lakukan perawatan luka dan kulit 
e. Jika ingin memberikan antibiotic, sebaiknya berikan sesuai dosis derajat kerusakan ginjal. 

3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolic,anoreksia, mal nutrisi yang berhubungan dengan gagal ginjal 
Tujuan : Tercukupinya kebutuhan nutrisi 
Intervensi : 
a. Bekerjasama denagan ahli gizi untuk mengatur asupan protein sesuai kerusakan fungsi ginjal sebab metabolic yang diakumulasi didalam darah biasanya berasal dari katabolisme, sehingga protein harus tinggi nilai biologi yang kaya sam amino esensial ( makanan kering, telur, daging ) agar pasien tidak mengalami katabolisme jaringan bagi asamamino esensial. 
b. Diet rendah protein harus digabung dengan asam amino esensial dan vitamin. Pasien dengan kerusakan ginjal membutuhkan pembatasan protein. 
c. Protein akan ditingkatkan jika pasien mengikuti programdialisis untuk memungkinkan penuranan asam amino selama dialisis. 
d. Berikan makanan tinggi karbohidrat sebab karbohidrat memiliki fungsi memecah tepung dan berikan kalori tambahan lainnya. 
e. Ukur berat badan setiap hari. 
f. Monitor BUN, kreatinin, elektrolit, serum albumin total protein dan transferin. 
g. Ingat bahwa makanan dan cairan mengandung banyak sodium, potasium dan fosfat ( perlu dibatasi ). 
h. Siapkan hiperalimentasi ketika nutrisi yang adekuat tidak diberikan melalui seluruh pencernaan makanan. 

4. Resiko trauma b.d pendarahan gastrointestinal. 
Tujuan : pencegahan pendarahan gastrointestinal. 
Intervensi : 
a. Periksa semua feses dan muntahan untuk melihat adanya perdarahan. 
b. Berikan H2 reseptor antagonis seperti cimetidine ( tagamet ), rantidine ( zantac ) atau antasida seperti pencegahan ulcer stres lambung. Jika H2 reseptor antagonis digunakan,perawatan harus dilakukan untuk menilai dosis bagi derajat kerusakan ginjal. 
c. Siapkan endoskopi ketika terjadi perdarahan gastrointestinal. 

5. Gangguan ingatan b.d efek toksin pada SSP. 
Tujuan : penanganan fungsi sistem saraf. 
Intervensi : 
a. Komunikasi dengan pasien. 
b. Atur hal yang dapat diprediksi secra teratur dan jaga perubahan secara minimal. 
c. Amati dan laporkan perubahan status mental, somnolen, latargi, kelemahan, iritabiitas, kekacauan dan penurunan tingkat kesadaran secara mendadak. 
d. Koreksi gangguan kognitif. 
e. Gunakan intervensi keperawatan penurunan tingkat kesadaran dengan memasang pagar tempat tidur, pernapasan, pengisapan dan persiapkan peralatan disamping pasien. 
f. Bantu pasien berbalik dan bergerak, karena latargi dan penurunan tingkat kesadaran mencegah aktivitas. 
g. Gunakan musik untuk relaksasi. 
h. Siapkan dialisis untuk mencegah komplikasi sistem saraf. 

Pada Gagal Ginjal Kronis 
1. Kelebihan volume cairan b.d peningkatan proses penyakit. 
2. Ketidakseimbangn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual muntah, diet yang ketat. 
3. Kerusakan integritas kulit b.d uremia dan perubahan lemak dan kelenjar keringat. 
Tujuan : pencegahan gangguan integritas kulit. 
Intervensi : 
a. Jaga kebersihan kulit dengan mengurangi rasa gatal dan kekeringan, yaitu memakai sabun yang bersifat basa, tambahkan sodium bikarbonat dalam air mandi dan gunakan minyak mandi dalam air mandi. 
b. Gunakan krem untuk memberikan rasa nyaman dan mencegah gatal. 
c. Potong kuku untuk mencegah garukan. 
d. Jaga kebersihan dan kelembaban rambut. 
e. Berikan obat untuk mengurangi rasa gatal jika diperlukan. 

4. Konstipasi b.d pembatasan cairan dan ingesti agen pengikat fosfat ( fosfat - binding agent ). 
Tujuan : mencegah konstipasi. 
Intervensi : 
1. Hindari pemberian fosfat yang dapat menyebabkan konstipasi. 
2. Tingkatkan diet serat ( sayur dan buah karena mengandung banyak potasium ), asupan suplemen, gunakan pencahar dan tingkatkan olahraga sesuai kemampuan. 

5. Resiko trauma ketika dilakukan ambulasi b.d potensial fraktur dan keram otot sekunder terhadap penurunan kalsium. 
Tujuan : menjaga keselamatan dan aktivitas. 
Intervensi : 
a. Monitor serum kalsium dan fosfat. 
b. Amati keluhan pasien dan kekuatan otot. 
c. Berikan analgesik jika diindikasiikan. 
d. Monitor foto sinar X dan scan tulang. 
e. Tingkatkan aktivitas sesuai kemampuan. 
f. Berikan obat sesuai anjuran ( fosfat – binding, kalsium dan vitamin D ). 

6. Penatalaksanaan terapi yang tidak adekuat b.d tekanan terapi gagal ginjal kronis
Tujuan : meningkatkan pemahaman dan memerhatikan pengobatan. 
Intervensi : 
a. Persiapkan pasien untuk dialisis atau transplantasi ginjal. 
b. Beri dukungan. 
c. Kaji pemahaman pasien tentang pengobatan. 
d. Kaji alternatif untuk mengurangi efek samping pengobatan. 
e. Berikan dukungan sosial. 
f. Kontak dengan pasien mengenai perubahan perilakunya. 
g. Diskusikan pilihan dan dukungan psikoterapi untuk depresi. 
h. Dukung keputusan yang dibuat oleh pasien. 
i. Rujuk pasien dan anggota keluarga ke organisasi ginjal. 

D. Evaluasi Keperawatan 
Gagal Ginjal Akut 
1. Tekkanan darah stabil, tidak edema dan pernapasan normal. 
2. Tidak ada tanda infeksi. 
3. Asupan makanan cukup. 
4. Merasa nyaman dan dapat tidur. 

Gagal ginjal Kronis 
1. Tekanan darah stabil dan tidak ada penambahan BB. 
2. Makan – makanan rendah protein dan tinggi karbohidrat. 
3. Tidak ada kerusakan kulit dan pasien melaporkan gatal berkurang. 
4. Ambulasi tanpa jatuh. 
5. Bertanya dan membaca materi tentang dialisis.

it's aLL about KONSEP ASKEP KELUARGA

Keperawatan keluarga yang kita kenal sekarang ini dapat dikatakan sebagai pendatang baru dalam ilmu keperawatan, walaupun demikian, keperawatan keluarga yang merupakan integritas dari bidang spesialisasi lain dalam keperawatan mencuri perhatian banyak orang mengingat spesialisasi ini berkembang secara dinamis dengan berfokus pada praktek, pendidikan dan penelitian. Keperawatan keluarga berangkat dari pandangan sistem kesehatan yang berbasis komunitas dengan sasaran yang dimulai dari individu, kelompok, keluarga sampai masyarakat. Namun yang menjadi sasaran utama adalah keluarga. 

Keluarga sebagai perhatian utama keperawatan keluarga, dimana keluarga dipandang sebagai sumber daya kritis untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan, keluarga sebagai satu unit antar anggota dalam keluarga dipandang sebagai kesatuan dari sejumlah anggota keluarga, berada dalam satu ikatan dan saling mempengaruhi. Hubungan yang kuat dalam keluarga dengan status kesehatan anggotanya dimana peran keluarga sangat penting dalam tahapan-tahapan perawatan kesehatan mulai dari tahapan peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan sampai dengan rehabilitasi. Keluarga juga sebagai tempat penemu kasus terdini dengan adanya masalah kesehatan pada salah satu anggota keluarga akan memungkinkan munculnya faktor resiko pada anggota keluarga yang lain. Individu dipandang dalam konteks keluarga dapat mencapai pemahaman yang lebih jelas terhadap individu dab fungsinya apabila individu-individu tersebut dipandang dalam konteks keluarga mereka. Serta keluarga dipandang sebagai sumber pendukung bagi anggota keluarga lainnya.

Friedman dalam teori model family centre nursing menjelaskan bahwa keluarga sebagai suatu sistem sosial yang merupakan kelompok terkecil dari masyarakat. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan karena perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari individu yang didalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama.

Sasaran keperawatan komunitas pada tingkat keluarga adalah keluarga dimana anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan dirawat sebagai bagian dari keluarga dengan mengukur sejauh mana terpenuhinya tugas kesehatan keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan, memberikan perawatan kepada anggota keluarga, menciptakan lingkungan yang sehat dan memanfaatkan sumber daya dalam masyarakat untuk meningkatkan kesehatan keluarga.

Prioritas pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat difokuskan pada keluarga rawan yaitu : Keluarga yang belum terjangkau pelayanan kesehatan, yaitu keluarga dengan: ibu hamil yang belum ANC, ibu nifas yang persalinannya ditolong oleh dukun dan neo¬natusnya, balita tertentu, penyakit kronis menular yang tidak bisa diintervensi oleh program, penyakit endemis, penyakit kronis tidak menular atau keluarga dengan kecacatan tertentu (mental atau fisik). Keluarga dengan resiko tinggi, yaitu keluarga dengan ibu hamil yang memiliki masalah gizi, seperti anemia gizi be-rat (HB kurang dari 8 gr%) ataupun Kurang Energi Kronis (KEK), keluarga dengan ibu hamil resiko tinggi seperti perdarahan, infeksi, hipertensi, keluarga dengan balita dengan BGM, keluarga dengan neonates BBLR, keluarga dengan usia lanjut jompo atau keluarga dengan kasus percobaan bunuh diri. Dan keluarga dengan tindak lanjut perawatan. Salah satunya keluarga dengan masalah kesehatan ISPA pada anak balita. 

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

1. Konsep Keluarga
a. Definisi

Menurut Departemen Kesehatan RI (l998) yang diadopsi oleh Friedman (1998) mengatakan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Keluarga adalah kesatuan dari orang-orang yang terkait dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah (Friedman, 1998).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang mempunyai ikatan perkawinan dan pertalian darah yang hidup atau tinggal dalam satu rumah tangga, dibawah asuhan kepala keluarga setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing dan saling ketergantungan.

b. Tipe atau Jenis Keluarga
Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokan. Menurut Nasrul Effendy dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat (l998) menjelaskan atau tipe keluarga diantaranya :
1) Keluarga Inti (Nuclear Family)
Adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak – anak. 
2) Keluarga Besar (Extended Family)
Adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara misalnya : nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan sebagainya.
3) Keluarga Berantai (Serial Family)
Adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan pria lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
4) Keluarga Duda atau Janda (Single Family)
Adalah keluarga yang terjadi karena penceraian.
5) Keluarga Berkomposisi (Composite)
Adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.
6) Keluarga Kahabitas (Cahabitation)
Adalah dua orang yang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.

Sussman (1974) dan Maclin (1988) membagi bentuk-bentuk keluarga menjadi 2 bentuk diantaranya : 
1) Keluarga Tradisional
a) Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
b) Pasangan inti adalah keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja.
c) Keluarga dengan orang tua tunggal yaitu satu orang yang mengepalai keluarga sebagai konsekuensi perceraian.
d) Bujangan yang tinggal sendirian.
e) Keluarga besar tiga generasi.
f) Pasangan usia pertengahan atau pasangan lansia.
g) Jaringan keluarga besar. 

2) Keluarga Non Tradisional
a) Keluarga dengan orangtua yang memiliki anak tanpa menikah.
b) Pasangan yang memiliki anak tanpa menikah.
c) Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah (kumpul kebo).
d) Keluarga gay.
e) Keluarga lesbi.
f) Keluarga komuni : keluarga dengan lebih dari satu pasangan monogami dengan anak – anak yang secara bersama – sama menggunakan pfasilitas, sumber dan memiliki pengalaman yang sama.

c. Struktur Keluarga
1) Friedman mengatakan ada empat elemen struktur keluarganya
a) Struktur peran keluarga
Menggambarkan peran masing-masing keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masyarakat atau peran formal dan informal.
b) Nilai atau norma keluarga
Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.
c) Pola komunikasi keluarga
Menggambarkan bagaimana pola komunikasi ayah ibu (orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga inti.
d) Struktur kekuatan keluarga
Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.

2) Ciri-ciri struktur keluarga
a) Terorganisasi
Keluarga adalah cerminan organisasi, dimana masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan fungsi masing-masing sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Organisasi yang baik ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara anggota sebagai bentuk saling ketergantungan dalam mencapai tujuan.
b) Keterbatasan
Dalam mencapai tujuan, setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing sehingga dalam berinteraksi setiap anggota keluarga tidak bisa semena-mena, tetapi mempunyai keterbatasan yang dilandasi oleh tanggung jawab masing-masing anggota keluarga.
c) Perbedaan dan kekhususan
Adanya peran yang beragam dalam keluarga menunjukan masing-masing anggota keluarga mempunyai peran dan fungsi yang berbeda dan khas seperti halnya peran ayah sebagai pencari nafkah utama dan peran ibu yang merawat anak.

3) Dominasi struktur keluarga
a) Dominasi jalur hubungan darah
(1) Patrilineal
Keluarga yang dihubungkan atau disusun mealui jalur garis ayah. Suku-suku di indonesia rata-rata menggunakan struktur keluarga patrilineal.
(2) Matrilineal
Keluarga yang dihubungkan atau disusun mealui jalur garis ibu. Suku padang salah satu suku yang menggunakan struktur keluarga matrilineal.
b) Dominasi keberadaan tempat tinggal
(1) Patrilokal
Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak suami.
(2) Matrilokal
Keberadaan tempat tinggal satu keluarga yang tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak istri.
c) Dominasi pengambilan keputusan
(1) Patriakal
Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak suami.
(2) Matriakal
Dominasi pengambilan keputusan ada pada pihak istri.

d. Peran Keluarga
Peran keluarga menggambarkan peranan keluarga memperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga, kelompok, dan masyarakat, Berbagai peranan yang terdapat didalam keluarga adalah sebagai berikut :
1) Peran ayah
Peranan formal sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah. Informal sebagai pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta anggota masyarakat dari lingkungan.
2) Peran ibu
Peran formal sebagai istri ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya dan pelindung. Peran informal sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahana dalam keluarga.
3) Peran anak
Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual.

e. Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (1998) yang di adopsi oleh suprajitno dalam bukunya asuhan keperawatan keluarga (2004) sebagai berikut yaitu :
1) Fungsi afektif
Fungsi keluarga yang utama mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain, fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga.
2) Fungsi sosialisasi
Fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk kehidupan social sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
3) Fungsi reproduksi
Fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4) Fungsi ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meninggalkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5) Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

f. Tahap-Tahap Keluarga Dan Tugas Perkembangan Keluarga
Tahap-tahap perkembangan menurut Duvall yaitu :
1) Tahap keluarga pemula atau pasangan baru menikah
Keluarga yang dimulai saat individu laki-laki dan perempuan membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah saling memuaskan pasangan, beradaptasi dengan keluarga besar dari masing-masing pihak, merencanakan dengan matang jumlah anak, memperjelas peran masing-masing pasangan.
2) Keluarga dengan kelahiran anak pertama
Tahap ini dimulai saat ibu hamil sampai dengan kelahiran anak pertama dan berlanjut sampai dengan anak pertama berusia 30 bulan. Tugas perkembangannya adalah mempersiapkan biaya persalinan, mempersiapkan mental calon orang tua dan mempersiapkan berbagai kebutuhan anak. Apabila anak sudah lahir tugas keluarga antara lain : memberikan ASI sebagai kebutuhan utama bayi (minimal 6 bulan), memberikan kasih sayang, mulai mensosialisasikan dengan lingkungan keluarga besar dan masing-masing pasangan, pasangan kembali melakukan adaptasi karena kehadiran anggota keluarga termasuk siklus hubungan seks dan mempertahankan hubungan dalam rangka memuaskan pasangan.
3) Tahap keluarga dengan anak usia prasekolah
Dimulai saat anak pertama berusia 2,5 tahun dan berakhir saat anak berusia 5 tahun. Tugas perkembangannya adalah menanamkan nilai-nilai dan norma kehidupan, mulai menanamkan keyakinan beragama, mengenal kultur keluarga, memenuhi kebutuhan bermain anak, membantu anak dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, menanamkan tanggung jawab dalam lingkup kecil, memperhatikan dan memberikan stimulasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak prasekolah.
4) Tahap keluarga dengan anak usia sekolah
Dimulai saat anak pertama berusia 6 tahun dan berakhir disaat anak berusia 12 tahun. Tugas yang dimiliki keluarga dengan anak usia sekolah adalah : memenuhi kebutuhan sekolah anak baik alat-alat sekolah maupun biaya sekolah, membiasakan belajar teratur, memperhatikan anak saat menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya, memberikan pengertian pada anak bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan anak, membantu anak dalam bersosialisasi lebih luas dengan lingkungan sekitar.
5) Tahap keluarga dengan anak remaja
Tahap ini di mulai ketika anak pertama berumur l3 tahun dan berakhir saat anak berumur 19-20 tahun. Keluarga dengan anak remaja berada dalam posisi dilematis, mengingat anak sudah mulai menurun perhatiannya terhadap orang tua dibandingkan dengan teman sebayanya. Pada tahap ini sering kali ditemukan beda pendapat antara orang tua dan anak remaja, apabila hal ini tidak diselesaikan akan berdampak pada hubungan selanjutnya. Tugas perkembangannya adalah memberikan perhatian lebih pada anak remaja, bersama-sama mendiskusikan tentang rencana sekolah atau kegiatan diluar sekolah, memberikan kebebasan dalam batasan tanggung jawab, mempertahankan komunikasi dua arah.
6) Tahap keluarga yang melepas anak kemasyarakat
Remaja yang akan beranjak dewasa harus sudah siap meninggalkan kedua orangtuanya untuk memulai hidup baru, bekerja dan berkeluarga sehingga tugas perkembangan pada tahapan ini antara lain : mempertahankan keintiman pasangan, membantu anak untuk mandiri, mempertahankan komunikasi, memperluas hubungan keluarga antara orangtua dengan menantu, menata kembali peran dan fungsi keluarga setelah ditinggal anak-anak.
7) Tahap berdua kembali
Tugas keluarga setelah ditinggal pergi anak-anaknya untuk memulai kehidupan baru antara lain : menjaga keintiman pasangan, merencanakan kegiatan yang akan datang, tetap menjaga komunikasi dengan anak-anak dan cucu, mempertahankan kesehatan masing-masing pasangan.
8) Tahap keluarga dalam masa pensiun dan lansia
Masa tua biasa di hinggapi perasaan kesepian, tidak berdaya, sehingga tahap keluarga pada tahapan ini adalah saling memberi perhatian yang menyenangkan antara pasangan, memperhatikan kesehatan masing-masing pasangan, merencanakan kegiatan untuk mengisi waktu tua seperti dengan berolahraga, berkebun, mengasuh cucu. Pada masa tua pasangan saling mengingatkan akan adanya kehidupan yang kekal setelah kehidupan ini.

2. Konsep Proses Keperawatan Keluarga

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahapan terpenting dalam proses keperawatan, mengigat pengkajian sebagai awal bagi keluarga untuk mengidentifikasi data-data yang ada pada keluarga. Pengkajian adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien (Potter dan Perry, 2005).
1) Pengkajian keluarga model Friedman
Asumsi yang mendasari pengkajian model Friedman antara lain yaitu keluarga sebagai system social yang merupakan kelompok kecil dari masyarakat. Friedman mernberi batasan enam katagori dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan saat melakukan pengkajian yaitu data pengenalan keluarga, riwayat dan tahap perkembangan keluarga, data lingkungan, struktur keluarga, fungsi keluarga dan koping keluarga.

2) Tahapan-tahapan pengkajian
Untuk mempertahankan perawat keluarga saat melakukan pengkajian, digunakan istilah penjajakan pertama dan penjajakan ke dua.
a) Penjajakan pertama
Data-data yang dikumpulkan pada penjajakan pertama antara lain adalah data umum, lingkungan, struktur keluarga, fungsi keluarga, stress dan koping keluarga, harapan keluarga, data tambahan, dan pemeriksaan fisik. Dari hasil pengumpulan data tersebut maka akan dapat di identifikasi masalah kesehatan keluarga.
b) Penjajakan kedua
Pengkajian yang tergolong kedalam pengkajian kedua diantarannya pengurnpulan data-data yang berkaitan dengan ketidakmampuan keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan sehingga dapat ditegakan diagnosa keperawatan keluarga, adapun ketidak mampuan keluarga dalam menghadapi masalah diantaranya adalah ketidak mampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, ketidak mampuan keluarga mengambil keputusan, ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit, ketidak mampuan keluarga memodifikasi lingkungan, dan ketidak mampuan keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon actual atau potensial klien terhdap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya (Perry & Potter, 2005).

Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan tentang factor-factor yang mempertahankan respon atau tanggapan yang tidak sehat dan menghalangi perubahan yang diharapkan. Diagnosa yang digunakan mengacu pada kriteria diagnosa North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). Sedangkan untuk etiologi mengacu kepada lima tugas keluarga yaitu mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat, merawat anggota keluarga yang sakit, memelihara lingkungan atau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan (Friedman 1999).

Tipologi diagnosa keperawatan keluarga dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Aktual adalah masalah keperawatan yang sedang dialami oleh keluarga dan memerlukan bantuan dari perawat dengan cepat, contohnya ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada keluarga Tn. S khususnya An. R (5 tahun) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan ISPA.
2) Resiko atau resiko tinggi adalah masalah keperawatan yang belum terjadi, tetapi tanda untuk menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi dengan cepat apabila tidak segera mendapat bantuan perawat, contohnya resiko tinggi pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada keluarga Tn. S khususnya An. R (5 tahun) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga Tn. S khususnya An. R dengan kurang nutrisi.
3) Potensial adalah suatu keadaan sejahtera dari keluarga ketika keluarga telah mampu memenuhi kebutuhan kesehatan dan mempunyai sumber penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat ditingkatkan, contohnya potensial tumbuh kembang, yang optimal pada An. keluarga Tn. adapun masalah yang mungkin timbul pada pasien dengan gastritis.

c. Perencanaan Keperawatan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan prioritas masalah keperawatan berdasarkan skala prioritas di atas adalah sebagai berikut:
1) Sifat masalah
Menentukan sifat masalah aktual bobot yang paling besar diberikan kepada keadaan sakit atau yang mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera dan biasanya disadari serta dirasakan oleh keluarga.
2) Kemungkinan masalah dapat diubah
Perawat perlu mempertahankan terjangkaunya faktor-faktor sebagai berikut pengetahuan yang ada sekarang, teknologi, tindakan-tindakan untuk menangani masalah, sumber daya keluarga, di antaranya keuangan, tenaga, sarana dan prasarana, sumber daya perawatan, di antaranya adalah pengetahuan keterampilan dan waktu. 
3) Potensial masalah untuk dicegah
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam melihat potensi pencegahan masalah adalah kepelikan masalah yang berhubungan dengan jangka waktu masalah itu, tindakan yang sedang dijalankan adalah tindakan-tindakan yang tepat dalam memperbaiki masalah, adanya kelompok resiko tinggi “high risk” dalam keluarga atau kelompok yang sangat peka menambah potensi untuk mencegah masalah.
4) Menonjolnya masalah
Untuk menonjolnya masalah perawatan perlu menilai persepsi atau bagaimana keluarga melihat masalah kesehatan tersebut. Nilai skore tertinggi yang terlebih dahulu dilakukan intervensi keperawatan.

Dalam menentukan prioitas masalah keperawatan, dilakukan dengan cara skoring yaitu sebagai berikut :
1) Tentukan skore untuk setiap kriteria
2) Skore dibagi dengan angka tertinggi dan dikalikan dengan bobot
3) Jumlah skore untuk semua kriteria 
4) Skore tertinggi 5 sama dengan seluruh bobot

Perencanaan adalah perumusan tujuan yang berorientasi pada klien yang mencakup tujuan umum dan khusus yang didasarkan pada masalah yang dilengkapi dengan kriteria dan standar yang mengaku pada penyebab. Friedman (1998), yang memberikan gambaran berkaitan dengan klasifikasi intervensi antara lain :
1) Suplemental yaitu berlaku sebagai pemberi pelayanan perawatan langsung pada keluarga sebagai sasaran seperti imunisasi pada balita, imunisasi pada ibu hamil, perwatan luka DM dan pembelajaran pembuatan obat tradisional.
2) Fasilitatif yaitu perawat keluarga menyingkirkan halangan-halangan terhadap pelayanan yang diperlukan, seperti pelayanan medis, kesejahteraan social, transfortasi dan pelayanan kesehatan dirumah.
3) Developmental atau Perkembangan yaitu tujuan-tujuan perawatan diarahkan pada perbaikan kapasitas penerima perawat agar dapat bertindak atas nama dirinya. Membantu keluarga memanfaatkan sumber-sumber perawatan kesehatan pribadi seperti sistem dukungun sosial interna maupun eksterna dalam satu intervensi dengan kekuatan dan sumber pendukung yang terdapat pada keluarga.

Sasaran adalah keadaan atau situasi yang diharapkan setelah dilaksanakan sasaran merupakan tujuan dimana segala usaha diarahkan. Prinsip-prinsip dalam menentukan sasaran ditentukan oleh perawatan bersama keluarga, dapat diterirna keluarga dan keluarga dapat mengambil tindakan untuk memecahkan.

Kriteria akan memberikan gambaran tentang faktor-faktor tidak tetap yang memberikan petunjuk bahwa tujuan telah tercapai. Standar menunjukan tingkat pelaksanaan yang diinginkan untuk membandingkan dengan pelaksanaan yang sebenarnya.

Tujuan merupakan pernyataan yang lebih terinci tentang hasil keperawatan yang akan menentukan kriteria yang dipakai untuk menilai keberhasilan keperawatan bila dilihat dari jangka waktu, tujuan perawatan keluarga dapat dibagi dua :
1) Tujuan umum merupakan tujuan yang lebih menekankan pada pencapaian akhir sebuah masalah, dimana perubahan prilaku dari yang merugikan kesehatan kearah prilaku yang menguntungkan kesehatan. Tujuan umum ini lebih sebagai sasaran asuhan keperawatan keluarga.
2) Tujuan khusus dalam rencana keperawatan lebih menekankan pada pencapaian hasil masing-masing kegiatan.

Prinsip-prinsip perencanaan diantaranya :
1) Tindakan-tindakan yang disusun harus berorientasi pada pemecahan masalah.
2) Rencana tindakan yang dibuat akan dapat dilakukan mandiri oleh keluarga.
3) Rencana tindakan yang dibuat berdasarkan masalah kesehatan.
4) Rencana perawatan sederhana dan mudah dilakukan.
5) Rencana perawatan dapat dilakukan secara terus-menerus oleh keluarga.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana asuhan keperawatan tujuan hendaknya logis, sesuai masalah, dan mempunyai jangka waktu yang sesuai dengan kondisi klien, kriteria hasil hendaknya dapat diukur dengan alat ukur dan diobservasi dengan panca indera perawat yang objektif, rencana tindakan disesuaikan dengan sumber daya dan dana yang dimiliki oleh keluarga dan mengarah kemandirian klien sehingga tingkat ketergantungan dapat diminimalisasi.

d. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan. (Potter & Perry, 2005).

Pelaksanaan perawatan merupakan aktualisasi dari perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Prinsip yang mendasari pelaksanaan keperawatan keluarga antara lain :
1) Pelaksanaan keperawatan mengacu pada rencana keperawatan yang dibuat.
2) Pelaksanaan keperawatan dilakukan dengan tetap memperhatikan prioritas masalah.
3) Kekuatan keluarga berupa finansial, motivasi dan sumber-sumber pendukung lainnya jangan diabaikan.
4) Pendokumentasian pelaksanaan keperawatan keluarga janganlah terlupakan dengan menyertakan tanda tangan petugas sebagai bentuk tanggung gugat dan tanggung jawab profesi.

Menurut Bailon dan Maglaya (1978) hambatan yang seringkali dihadapi perawat keluarga saat melakukan pelaksanaan keperaatan adalah :
1) Kurangnya informasi yang diterima keluarga
2) Tidak menyeluruhnya informasi yang di terima oleh keluarga
3) Informasi yang diperoleh keluarga tidak dikaitkan dengan masalah yang dihadapi.
4) Keluarga tidak mau menghadapi situasi.
5) Keluarga berusaha mempertahankan pola kebiasaan yang sudah ada.
6) Kegagalan mengaitkan tindakan dengan sasaran keluarga.
7) Kurang percaya pada tindakan yang diusulkan.

Kesulitan dalam tahap pelaksanaan dapat pula disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari petugas, antara lain :
1) Petugas cenderung menggunakan satu pola pendekatan atau petugas kaku dan kurang fleksibel.
2) Petugas kurang memberikan penghargaan atau perhatian terhadap faktor-faktor sosial budaya.
3) Petugas kurang mampu dalam mengambil tindakan atau menggunakan bermacam-macam tehnik dalam mengatasi masalah yang rumit.

e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Parry, 2005).
1) Sifat evaluasi
Evaluasi Tahap kelima atau tahap akhir dari proses keperawatan keluarga dan yang menentukan apakah tujuan dapat tercapai sesuai yang ditetapkan dalam perencanaan.

Apabila setelah dilakukan evaluasi tujuan tidak tercapai maka ada beberapa kemungkinan yang perlu ditinaju kembali yaitu :
a) Tujuan tidak realitis.
b) Tindakan keperawatan tidak tepat.
c) Faktor – faktor lingkungan yang tidak bisa di atasi.

2) Kriteria dan standar
Kriteria akan memberikan gambaran tentang faktor-faktor tidak tetap yang memberikan petunjuk bahwa tujuan telah tercapai. Standar telah menunjukan tingkat pelaksanaan yang diinginkan untuk membandingkan dengan pelaksanaan yang sebenarnya.

3) Evaluasi kualitatif dan kuantitatif
Dalam evaluasi kuantitatif menekankan pada jumlah pelayanan atau kegiatan yang telah diberikan, misalnya kunjungan ANC pada bumil. Evaluasi kuantitatif kelemahannya hanya mementingkan jumlah, padahal belum tentu banyaknya kegiatan yang dilakukan akan berbanding lurus dengan hasil yang memuaskan. Evaluasi kualitatif dapat dilihat pada :
a) Evaluasi struktur
Berhubungan dengan tenaga atau bahan yang diperlukan dalam suatu kegiatan.
b) Evaluasi proses
Evaluasi yang dilakukan selama kegiatan berlangsung. 
c) Evaluasi hasil
Merupakan hasil dari pemberian asuhan keperawatan.

4) Metode evaluasi
a) Observasi langsung.
b) Memeriksa laporan atau dokumentasi.
c) Wawancara.
d) Latihan stimulasi.

5) Catatan perkembangan
Catatan perkembangan keperawatan keluarga merupakan indikator keberhasilan tindakan yang diberikan pada keluarga oleh perawat keluarga. Karakteristik evaluasi dengan pedoman SOAP memberikan keuntungan pada perawat dengan uraian sebagai berikut :
a) Subjektif
Pernyataan dan uraian keluarga, klien atau sumber lain tentang perubahan yang dirasakan setelah diberikan tindakan keperawatan.
b) Objektif
Data-data yang bisa diamati, bisa berupa kemajuan atau kemunduran dan status kesehatan sekarang.
c) Analisa
Pernyataan menunjukan sejauh mana masalah keperawatan dapat tertanggulangi.
d) Planning
Rencana yang ada dalam catatan perkembangan merupakan rencana tindakan hasil evaluasi tentang dilanjutkan atau tidak sebuah rencana, sehingga inovasi dan modifikasi bagi perawat keluarga.

it's aLL about Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai paru-paru, berserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak. Di negara berkembang maupun di negara maju, anak-anak yang menderita ISPA masuk ke rumah sakit sudah dalam kondisi buruk. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak akan mengakibatkan kecacatan sampai pada masa dewasa. 

Insiden ISPA anak di negara berkembang maupun negara yang telah maju tidak berbeda, tetapi jumlah angka kesakitan di negara berkembang lebih banyak (WHO, 1992). Berbagai laporan mennyatakan bahwa ISPA anak merupakan penyakit yang paling sering pada anak, mencapai kira-kira 50% dari semua penyakit balita dan 30% pada anak usia 5-12 tahun. Umumnya infeksi biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, hanya kurang dari 5% yang mengenai saluran pernafasan bawah. 

World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA atau Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008). Berdasarkan data laporan tahunan puskesmas Kelurahan Warakas Jakarta Utara, jumlah kasus pola penyakit penderita rawat jalan semua umur pada tahun 2010-2011 adalah 8768 kasus, dengan jumlah kasus ISPA 5722 kasus (65,26%). 

Dari data diatas kegawatan yang dapat muncul akibat ISPA pada anak salah satunya adalah pneumonia. Pneumonia adalah proses peradangan yang akan menyebabkan jaringan paru yang berupa aveoli (kantung udara) dapat dipenuhi cairan ataupun nanah. Akibatnya kemampuan paru sebagai tempat pertukaran gas (terutama oksigen) akan terganggu. Kekurangan oksigen dalam sel-sel tubuh akan mengganggu proses metabolisme tubuh. Bila pneumonia tidak ditangani dengan baik, proses peradangan akan terus berlanjut dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti, selaput paru terisi cairan atau nanah (efusi pleura atau empiema), jaringan paru bernanah (abses paru), jaringan paru kempis (pneumotoraks) dan lain-lain. Bahkan bila terus berlanjut dapat terjadi penyebaran infeksi melalui darah (sepsis) ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian. 

Perawat keluarga adalah perawat profesional yang memiliki dedikasi tinggi dengan pemahaman yang berbasis komunitas, dimana perawat tersebut dalam pemberian pelayanan ke keluarga berkolaborasi dengan individu, keluarga dan pemberi pelayanan lainnya dalam konteks pelayanan kesehatan utama. Dengan adanya insiden, angka kejadian dan komplikasi ISPA maka dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan keluarga, perawat melakukan perannya. Peran perawat dalam penanggulangan ISPA pada anak mempunyai peran yang penting meliputi empat aspek yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Aspek promotif yaitu peran perawat sebagai edukatif dimana perawat berfungsi membantu keluarga untuk meningkatkan kesehatan melalui pemberian pendidkan kesehatan tentang ISPA pada anak dan memberikan informasi seluas-luasnya melalui leaflet, poster, dan lain-lain. Aspek preventif perawat berperan sebagai konseler degan pemberi informasi dalam cara pencegahan dan pencegahan komplikasi dari ISPA bagi penderita seperti pemberian imunisasi dan pemberian gizi yang seimbang dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Aspek kuratif adalah perawat sebagai pemberi pelayanan langsung dalam pemberian pengobatan dan perawatan klien dirumah seperti pemberian ½ sendok teh perasan jeruk nipis yang ditambahkan dengan ½ sendok teh kecap atau madu. Aspek rehabilitatif yaitu perawat sebagai koordinator adalah suatu upaya untuk memulihkan kondisi seperti sebelum sakit dengan pencegahannya yaitu dengan menjaga kondisi badan anak, lingkungan dan memberikan makanan yang bergizi.

KONSEP DASAR ISPA

1. Pengertian 
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma) atau aspirasi substansi asing yang melibatkansuatu atau semua bagian saluran pernasan. (Donna L. Wong, 2003 : hal. 458). 

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia tanpa atau disertai radang paru. (Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2010 : hal. 110). 

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah suau kelompok infeksi pada sistem pernafasan yang dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, berlangsung kurang lebih 14 hari. (Dina Kartika Sari, dkk 2010 hal : IV.1). 

Berdasarkan pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam saluran pernafasan atas sehingga terjadinya infeksi atau peradangan di saluran penafasan atas yang berlangsung selama 14 hari yang ditandai dengan batuk dan pilek. 

2. Etiologi 
ISPA dapat disebabkan oleh : 
a. Virus : influenza, mikrovirus, koronavirus, pikornavirus, miklosplasma, herpesvirus. 
b. Bakteri : streptococcus pneumoniae, genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebakterium. 
c. Riketsia : parasit. 
d. Tertular penderita yang sakit. 
e. Daya tahan tubuh yang kurang. 
f. Imunisasi belum lengkap. 
g. Lingkungan yang tidak sehat. 
h. Istirahat yang kurang. 
i. Tingkat sosial ekonomi yang rendah. 
j. Tingkat pendidikan yang rendah. 

3. Patofisiologi 
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-factor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (http://doctorology.net). 

Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning atau putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai dengan malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga disertai dengan diare. (Hood Alsagaff dan H. Abdul Mukty, 2010 : hal. 113).

Selain itu, demam pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah mencapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC. meningismus adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudinzky. Anoreksia biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bahkan tidak mau minum. Vomitus biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami sakit. Diare (Mild Transient Diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi virus. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric. Sumbatan pada jalan nafas atau nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret. Batuk merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan. Suara nafas biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan (http://nursingbegin.com/askep-ispa-anak/). 

Komplikasi yang dapt terjadi antaranya pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh macam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur atau benda asing. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah daya tahan tubuh yang menurun. Sinusitis paranasal, komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar, karena pada bayi dan anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih berat, nyeri kepala bertambah, nyeri tekan biasanya di daerah sinus frontalis dan maksilaris. Kadang-kadang disertai sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai sekret yang purulen. Penutupan tuba eustachii, infeksi dapat menembus langsung ke daerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media akut. Anak sangat gelisah, terlihat nyeri jika kepala digoyangkan. Kadang-kadang hanya ditemui gejala demam, muntah dan diare. Laringitis pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor. Hal ini disebabkan oleh edema laring dan sekitar pita suara karena rima glotis lebih kecil dibandingkan orang dewasa, daerah ini mengandung lebih banyak pembuluh darah atau getah bening, ikatan mukosa dengan jaringan di bawahnya masih lebih longgar. Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi bronkus. Serta dapat mengakibatkan kematian karena adanya sepsis yang meluas. 

Klasifikasi ISPA diantaranya ISPA ringan tanda dan gejalanya seperti batuk, pilek, serak dan demam. ISPA sedang tanda dan gejalanya seperti nafas lebih dari 40 x/menit pada usia lebih dari 1 tahun, suhu tubuh lebih dari 39˚c, timbul bercak merah pada kulit menyerupai campak, tenggorokan berwarna merah, telinga terasa nyeri bahkan sampai mengeluarkan nanah dari lubang telinga, Pernafasan terdengar seperti stridor. Sebagian tanda – tanda ISPA berat adalah tanda-tanda ISPA ringan dan sedang, disertai: bibir dan kulit membiru, penurunan kesadaran, pernafasan lebih dari 60 x/menit. 

4. Pemeriksaan Penunjang 
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur atau biakan kuman hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count) laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (http://nursingbegin.com/askep-ispa-anak/). 

5. Penatalaksanaan 
a. Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan adanya kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisaapan lendir baik melalui hidung maupun melalui mulut. Terapi pilihan adalah dekongestan dengan pseudoefedrin hidroklorida tetes pada lobang hidung, serta obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik. Antiboitik tidak dianjurkan kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret. 
b. Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga drainase sekret akan lebih mudah. 
c. Kemoprofilaksis : dapat diberikan adamantanamin atau amantadin HCL dengan dosis 2 x 100 mg. Cara ini tidak memberikan kekebalan, hanya menghambat atau mencegah virus masuk ke dalam sel. 
d. Mengatasi panas (demam) dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es). 
e. Mengatasi batuk, dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh, diberikan tiga kali sehari.

it's aLL about OSTEOMIELITIS

Tulang adalah bagian tubuh manusia yang amat penting, karena begitu besarnya fungsi tulang, antara lain tempat pembentukan sel darah, melindungi organ-organ penting, sebagai alat gerak pasif, dan lain-lain. Keabnormalan tulang akan berefek pada aktivitas kehidupan. 

Walau tulang memiliki struktur yang sangat kuat, banyak hal yang mngancam keberadaannya. Fraktur adalah patang tulang, biasanya disebabkan trauma atau tenaga fisik. Ada bermacam-macam fraktur, antara lain fraktur transversal, segmental, oblik, spiral, dan sebagainya. Selain itu, ada fraktur tertutup, ada pula fraktur terbuka. Konsep penting yang perlu diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut. Pada keadaan semacam ini, maka operasi untuk irigasi, debridemen, dan pemberian antibiotika intravena mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis. Pada umumnya harus dilakukan 6 jam setelah cedera. Semakin banyak waktu yang dilewati maka kemungkinan infeksi semakin besar (Price dan Wilson, 2006).

KONSEP DASAR 

A. Definisi 
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomeilitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. 

Beberapa ahli memberikan defenisi terhadap osteomyelitis sebagai berkut : 
1.Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes RI, 1995). 
2.Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990). 
3.Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan oleh staphylococcus (Henderson, 1997) 
4.Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus. Tetapi juga Haemophylus influenzae, streplococcus dan organisme lain dapat juga menyebabkannya osteomyelitis adalah infeksi lain. 

B. Etiologi 
1. Staphylococcus aureus hemolitukus (koagulasi positif) sebanyak 90% dan jarang oleh streptococcus hemolitikus. 
2. Haemophylus influenzae (50%) pada anak-anak dibawah umur 4 tahun. Organisme yang lain seperti : Bakteri colli, Salmonella thyposa dan sebagainya.

C. Patofisiologi 
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik. 
Awitan Osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan. 
Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang. 
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronis. 

D. Klasifikasi 
Menurut kejadiannya osteomyelitis ada 2 yaitu : 
1. Osteomyelitis Primer à Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung melalui luka. 
2. Osteomyelitis Sekunder à Adalah kuman-kuman mencapai tulang melalui aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya infeksi saluran nafas, genitourinaria furunkel). 

Sedangkan osteomyelitis menurut perlangsungannya dibedakan atas : 
1. Osteomyelitis akut 
a. Nyeri daerah lesi 
b. Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regional 
c. Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka 
d. Pembengkakan lokal 
e. Kemerahan 
f. Suhu raba hangat 
g. Gangguan fungsi 
h. Lab = anemia, leukositosis 
2. Osteomyelitis kronis 
a. Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri 
b. Gejala-gejala umum tidak ada 
c. Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur 
d. Lab = LED meningkat 

Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang paling sering: 
1. Staphylococcus (orang dewasa) 
2. Streplococcus (anak-anak) 
3. Pneumococcus dan Gonococcus 

E. Manifestasi Klinis 
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul. 
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan. 
Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. 

F. Pemeriksaan Penunjang 
1. Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah. 
2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas. 
3. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella. 
4. Pemeriksaan Biopsi tulang. 
5. Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi. 
6. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan adiologic, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus. 

G. Penatalaksanaan 
Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai. 
Pada Osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat. 

II. ASUHAN KEPERAWATAN 

A. Pengkajian 
a. Riwayat keperawatan 
Dalam hal ini perawat menanyakan faktor-faktor resiko sehubungan dengan osteomielitis. Hal-hal yang dikaji meliputi umur, pernah tidaknya trauma, luka terbuka, tindakan operasi khususnya operasi tulang, dan terapi radiasi. Faktor-faktor tersebut adalah sumber potensial terjadinya infeksi. 
a. Identifikasi awitan gejala akut : nyeri akut, pembangkakan, eritma, demam atau keluarnya pus dari sinus disertai nyeri, pembengkakan dan demam. 
b. Kaji faktor resiko : Lansia, DM, terapi kortikosteroid jangka panjang, cedera, infeksi dan riwayat bedah ortopedi sebelumnya. 
c. Hal-hal yang dikaji meliputi umur, pernah tidaknya trauma, luka terbuka, tindakan operasi khususnya operasi tulang, dan terapi radiasi. Faktor-faktor tersebut adalah sumber potensial terjadinya infeksi. 

b. Pemeriksaan fisik 
Area sekitar tulang yang terinfeksi menjadi bengkak dan terasa lembek bila dipalpasi. Bisa juga terdapat eritema atau kemerahan dan panas. Efek sistemik menunjukkan adanya demam biasanya diatas 380, takhikardi, irritable, lemah bengkak, nyeri, maupun eritema. 

c. Riwayat psikososial 
Pasien seringkali merasa ketakutan, khawatir infeksinya tidak dapat sembuh, takut diamputasi. Biasanya pasien dirawat lama di rumah sakit sehingga perawat perlu mengfkaji perubahan-perubahan kehidupan khususnya hubungannya dengan keluarga, pekerjaan atau sekolah. 

d. Pemeriksaan diagnostik 
Hasil laboratorium menunjukan adanya leukositosis dan laju endap darah meningkat. 50% pasien yang mengalami infeksi hematogen secara dini adanya osteomielitis maka dilakukan scanning tulang. Selain itu dapat pula dengan biopsi tulang atau MRI. 

B. Diagnosa Keperawatan 
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan. 
2. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan. 
3. Resiko terhadap perluasan infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang. 
4. Kurang pengetahuan tentang program pengobatan 

C. Intervensi Keperawatan 
Dx 1 : Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan. 
1. Imobilisasikan bagian yang terkena dengan bidai untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. 
2. Sendi diatas dan dibawah bagian yang terkena harus dibuat sedemikian sehingga masih dapat digerakkan sesuai rentangnya namun dengan lembut. Lukanya sendiri kadang terasa sangat nyeri dan harus ditangani dengan hati-hati dan perlahan. 
3. Tinggikan bagian yang terkena untuk mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya. 
4. Pantau Status neurovaskuler ekstremitas yang terkena. 
5. Lakukan Teknik manajemen nyeri seperti massage, distraksi, relaksasi, hipnotik untuk mengurangi persepsi nyeri dan kolaborasi dengan medis untuk pemberian analgetik. 

Dx 2 : Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan. 
1. Program pengobatan dengan membatasi aktivitas. 
2. Liindungi tulang dengan alat imobilisasi dan hindarkan stres pada tulang karena Tulang menjadi lemah akibat proses infeksi. 
3. Berikan pemahaman tentang rasional pembatasan aktivitas. 
4. Partisipasi aktif dalam kehidupan sehari-hari dalam batas fisik tetap dianjurkan untuk mempertahankan rasa sehat secara umum. 

Dx 3 : Resiko terhadap perluasan infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang. 
1. Pantau respons pasien terhadap terapi antibiotika. 
2. Observasi tempat pemasangan infus tentang adanya i flebitis atau infiltrasi. 
3. Bila diperlukan pembedahan, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan adanya peredaran darah Yang mewadai (pengisapan luka untak mencegah penumpukan cairan, peninggian daerah untuk memperbaiki aliran balik vena, menghindari tekanan pada daerah Yang di‑graft) untuk mempertahankan imobilitas Yang dibutuhkan, dan untuk memenuhi pembatasan beban berat badan. 
4. Pantau kesehatann urnum dan nutrisi pasien. 
5. Berikan diet protein seirnbang, vitamin C dan vitamin D dipilih untak meyakinkan adanya keseimbangan nitrogen dan merangsang penyembuhan. 

Dx 4 : Kurang pengetahuan tentang program pengobatan 
1. Pasien harus dalam keadaan stabil secara medis dan telah termotivasi, dan keluarga harus mendukung. Lingkungan rumah harus bersifat kondusif terhadap pro­mosi kesehatan dan sesuai dengan program terapeutik. 
2. Pasien dan keluarganya harus memahami benar proto­kol antibiotika. 
3. Ajarkan cara teknik balutan secara steril dan teknik kompres hangat. Pendi­dikan pasien sebelum pemulangan dari rurnah sakit dan supervisi serta dukungan Yang memadai dari perawatan di rumah sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan osteomielitis di rumah. 
4. Pantau dengan cermat menge­nai bertambahnya daerah nyeri atau peningkatan suhu Yang mendadak. Pasien diminta. untuk melakukan obser­vasi dan melaporkan bila terjadi peningkatan suhu, ke­luarnya pus, bau, dan bertambahnya inflamasi. 

D. Evaluasi 
Hasil yang Diharapkan 
Dx 1 : 
1. Melaporkan berkurangnya nyeri 
2. Tidak mengalami nyeri tekan di tempat terjadinya Infeksi 
3. Tidak mengalarni ketidaknyamanan bila bergerak 

Dx 2 : 
1. Berpartisipasi‑dalam aktivitas perawatan~diri 
2. Mempertahankan fungsi penuh ekstremitas Yang sehat 
3. Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman 

Dx 3 : 
1. Memakai antibiotika sesuai resep 
2. Suhu badan normal 
3. Tiadanya pembengkakan 
4. Tiadanya pus 
5. Angka leukosit dan laju endap darah kembali non‑nal 
6. Biakan darah negatif 

Dx 4 : 
1. Memakai antibiotika sesuai resep 
2. Melindungi tulang yang lemah 
3. Memperlihatkan perawatan luka yang benar 
4. Melaporkan bila ada masalah segera 
5. Makan diet seimbang dengan tinggi protein dan vitamin C dan D 
6. Mematuhi perjanjian untuk tindak lanjut 
7. Melaporkan peningkatan kekuatan 
8. Tidak melaporkan peningkatan suhu badan atau kambuhan nyeri, pembengkakan, atau gejala lain di tempat terrsebut.